Senin, 30 Januari 2012

Iri dengan Rumput Tetangga

Yang tak bosan menjadi pusat perhatian :-)

(1) Rumput tetangga yang lebih hijau

Ada yang sekadar pindah sementara atau ikut suami/istri yang memang warga negara negeri impian. Namun ada juga yg harus merelakan menggunting ktp merahnya demi memperoleh pendidikan dan kualitas hidup yg lebih baik disamping faktor-faktor lain spt karir, reuni dgn keluarga besar, dll. Tak perlu diherankan bahwa tradisi merantau (migrasi manusia) dari negara miskin/tak teratur/rawan konflik ke negara yang aman dan kaya (1), dari yg masih berkembang ke yg sudah berkembang (2), dan dari yg maju ke negeri yg lebih maju (3) sudah jamak dan bakal akan semakin sering terjadi di zaman borderless world ini.

Jenis merantau (3) memang pas untuk Singapura, ini didukung data statistik yg menyebutkan dari tahun 2000-2010 rata-rata ada seribu orang pindah kewarganegaraan. Mereka yang pindah umumnya bukan dari golongan susah. Mayoritas diisi oleh mereka yg pernah merasakan atau mengenyam hidup di luar negeri terutama sejak usia sekolah. Sekolah di "negeri maju" lain dirasakan lebih santai (less stress, less demanding, or even heavily subsidised) dibandingkan di pulau kecil ini. Gaya hidup lebih rileks (contoh: Australia, NZ), mobil/rumah lebih murah, dan yg pasti dpt berlibur atau berakhir pekan menjelajah kota-kota sekitar atau negeri yg jauh lebih luas tanpa perlu berebut tiket pesawat/ferry murah. Alasan utopis: negeri maju lain lebih manusiawi. Mirip ceritanya dgn anak-anak pintar Indonesia yg sudah menikmati fasilitas beasiswa atau dibayari orang tuanya studi ke LN dan tidak kembali lagi ke tanah air untuk bekerja. Para pekerja IT/Engineering/Migas yg ingin merasakan hidup "senang" di negeri jiran atau Timur Tengah akan serta merta berbondong hijrah ke negeri-negeri tsb. Alhasil telah ramai pekerja profesional dari Asia Selatan (mayoritas India) atau Filipina yg diterima di Indonesia dengan gaji Indonesia :-)

Hukum alam selalu mencari kesetimbangan. Posisi-posisi kerja kosong yg ditinggalkan penduduk akan diisi oleh para pencari kerja yg datang dari negeri-negeri seberang, demikian seterusnya, saling mengisi.

(2) Lempar kesalahan pada pendatang

Mengikuti hukum di atas, tentulah makin ramai pendatang di negeri ini. Pendatang bermunculan dengan membawa kebiasaan, budaya, tatacara, agama dari negeri asalnya. Yang datang bukan 1000, 10 ribu, 1 juta tapi sudah mengisi hampir 40% dari total manusia di Singapura. Akibatnya jelas bumi makin sesak :-)

Insiden MRT yg berulang kali mogok jalan dan paling parah akhir Desember lalu jelas disebabkan lonjakan jumlah penumpang dan frekuensi mondar-mandir gerbong yg makin sering. Nov 1987 pertama kali MRT beroperasi total penduduk di sini 2.7 jt. Nov 2011 penduduk meningkat 5.2 jt, artinya hampir dua kali lipat. Rata-rata jumlah penumpangnya 2.246 juta per hari (Jan 2011), padahal di tahun 2003 hanya 1.1 juta, dan bisa jadi di awal-awal tahun pengoperasian penumpang hanya 1/4 dari muatan sekarang. Adem, ayem, aman, tak ada yg protes tak kebagian tempat duduk. Frekuensi nambah, berat beban sekali narik nambah, harus ngebut "ngejar setoran" untuk angkut penumpang :-) Padahal rel/kabel nya tak mgkn dibongkar pasang tiap bulan dan pemeliharaan tak bisa secermat dulu krn jumlah gerbong meningkat dan panjang rel/kabel bertambah krn dibukanya rute baru.

Nasib yg sama juga dialami penumpang bus.  Bus yg lebih sesak krn terjadi peningkatan penumpang sebanyak 16% (antara 2007 - 2011) dan lebih lelet jalan dibandingkan dulu karena jumlah mobil lain pun meningkat dan bus harus ngetem lebih lama di halte menunggu penumpang naik yg lebih banyak. Dari tukang catat diperoleh data bahwa bus hari ini berjalan dengan kecepatan rata-rata 17.8 km/jam dibandingkan 19.1 km/jam pada tahun 2007 (he..he.. salut saya dengan rajinnya mereka mengumpulkan informasi2 numerik spt ini).

Kenyataan ini bertambah runyam dengan inflasi yg tak mau henti. Bagai mengail ikan di air keruh para "penasehat" keuangan pun mengacau dengan prediksi-prediksi bullish nya di pasar saham, uang, komoditas dan properti. Agen-agen rumah juga tak mau ketinggalan mengompori para pemilik rumah untuk menjual atau menyewakan rumah/kamar nya dengan harga tinggi. Ekonomi gelembung (bubble) yg siap pecah kapan saja dan sudah terasa akibatnya tahun ini.  Lengkaplah tekanan hidup terutama bagi mereka yg baru memasuki dunia kerja, pasangan yg baru menikah ingin memiliki rumah, atau pasangan yg baru menerima berkah punya anak. Lho koq jadi begini ... salahkah pemerintah  ?

Tidak ada komentar: